Sabtu, 23 Agustus 2008

Main Parang di Pilkada

Pilkada langsung sebagai buah reformasi yang memberi peluang bagi banyak tokoh untuk tampil sebagai bupati ataupun gubernur membutuhkan kearifan semua orang. Khususnya dalam mengelola massa masing-masing kandidat.
Massa pendukung di akar rumput umumnya kurang toleran terhadap massa kandidat ”Jagoannya” sehingga sangat rentan terjadi gesekan yang berujung pada bentrokan fisik antar sesama pendukung.
Insiden yang terjadi di Jeneponto, sekitar 90 kilometer selatan Makassar, bisa menjadi contoh terkini betapa rentannya gesekan antarpendukung kandidat bupati. Pesta demokrasi belum dimulai tetapi korban sudah mulai muncul.
Parang bagi kebanyakan orang Jeneponto sudah menyatu dalam kehidupan mereka. Parang atau bahkan badik menjadi pelengkap bagi pria Jeneponto dalam kehidupan mereka.
Mantu Bupati Jeneponto Rajamilo yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri lagi menjadi korban pemarangan massa kandidat pesaingnya dalam pilkada yang kini sementara berproses.
Pemicunya hanya soal teriakan OPPOKI yang dalam bahasa Bugis-Makassar berarti menjabat lagi terhadap pendukung saingan Radjamilo dalam pilkada. Ini menyebabkan ketegangan antarpendukung meningkat.
Akibatnya bisa diduga, bentrokan fisik antarpendukung langsung terjadi. Parang yang merupakan barang pelengkap bagi sebagian besar orang Jeneponto ikut bicara. Tak heran jika ada yang kena tebas.
Untuk menghindari jatuhnya korban di akar rumput yang tidak perlu para kandidat sejatinya turun tangan menenangkan massanya yang cenderung mengabaikan akal sehatnya.
Disinilah kemampuan kepemimpinan sang calon pemimpin dibutuhkan karena yang dibutuhkan sesungguhnya bukanlah PEMERINTAH tetapi PEMIMPIN yang arif nan bijaksana.

Tidak ada komentar: